Rabu, 29 Februari 2012

Semua Salahku

…and no matter what I do I feel the pain with or without you. Terdengar sayup-sayup Tearin’ Up My Heart-nya N’Sync dari radio tetangga sebelah. Ingin rasanya aku mematikan radio itu.
“Aaaak! Kesemutan.” Akhirnya aku tersadar kalau aku ketiduran dalam posisi duduk telungkup di meja belajar. Segera kuambil jam weker di depanku.
“Pantes. Sejam tidur seperti ini.” Sambil melihat jam weker kemudian melepas kacamata dan teringat kembali kejadian seusai jam sekolah tadi di parkiran.
Sambil berjalan tertatih karena seluruh badan terasa kesemutan, aku menutup jendela kamar agar suara lagu itu nggak terdengar lagi. Aku duduk di pinggir tempat tidur sambil meraba kepala dengan tangan kiri karena rasanya pusing sekali dan tanganku kemudian turun meraba kedua mataku,
“Sembab dan panas.” Gumamku.“Pras, sialan!”

Sambil memukulkan kepalan tangan kananku ke tempat tidur. Spontan kalimat itu keluar setelah kejadian di parkiran tadi. Ya, di kelas dekat parkiran tadi aku sangat kesal. Amat sangat.

***

Candra Prasetyo, panggilannya Pras. Nomor urut absen pertama di kelas dan aku urutan terakhir. Semua orang tahu dia tampan, dia playboy. Ya dia nggak pernah serius dengan seorang cewek yang dikencaninya lebih dari dua bulan. Tapi anehnya, nggak satu pun dari mantan-mantannya yang marah pada Pras berlama-lama. Karena memang pembawaannya dalam keseharian yang menurutku cukup baik pada siapa saja walaupun agak cuek. Aku termasuk “korbannya”, bukan sebagai mantannya tapi sebagai seorang yang terpesona akan pembawaannya yang menurutku cukup unik itu. Terlepas dari kenyataan bahwa Pras seorang playboy dan tampan.
Dua tahun yang lalu saat kelas I keadaan sekolah pagi-pagi di kelas-kelas masih sepi.  Di mana baru hanya beberapa orang saja yang masuk ke dalam kelas meraka masing-masing, aku melihat pengumuman tentang pengumpulan baksos di depan kelasku yang diadakan sekolah dipercepat hingga esok.
“Untung aku bawa.” Gumamku sambil memperbaiki letak kacamataku dengan telunjuk.
“Udah ngumpulin?” Sedikit terkejut, aku hanya menoleh untuk melihat siapa yang berbicara. Pras sudah ada di belakangku.
“Itu.” Sambungnya tersenyum sambil menunjuk ke kertas pengumuman yang ditempel di jendela kelas dengan dagunya.
“Oh, ini. Kamu udah?” Tanyaku agak kaku sambil melihat ke arah tas punggung yang kusangga menghadap depan badanku, keberatan.
“Udah. Sini kasih aku tas kamu.” Jawabnya sambil menjulurkan kedua tangannya sebagai isyarat untukku agar nyerahkan tasku. Aku menurut. Setelah tasku berpindah ke tangannya, dengan cuek dia membuka tasku kemudian mengambil bungkusan plastik di dalamnya dan mengeluarkannya. Aku diam saja memperhatikan.
“Lumayan berat. Apa nih?” Katanya ingin tahu sambil menimbang-nimbang.
“Itu beras dan beberapa potong pakaian layak pakai.” Sambil melihatnya dan eh mata kami saling bertemu pandang. Rasanya jantungku mau copot.
Sambil tersenyum Pras menawarkan diri “Kamu masuk aja ke kelas, biar aku yang nyerahkan ini ke panitia. Tadi aku liat petugasnya udah datang. Ruangannya kan lumayan jauh, lagian ini agak berat. ”
“Iya, memang. Tas super gede ini rasanya hampir nggak muat tadi.” Aku tersenyum lega pada Pras. “Makasih banyak ya, Pras.” Sambungku.
“Oke, Ra.” Jawabnya sambil tersenyum. “Aku pergi dulu.” Lanjutnya, kemudian pergi meninggalkanku.
Kemudian aku berjalan masuk ke kelas dan duduk sambil meletakkan tas di bangku. Sambil berpikir,
“Wah, anak itu tahu nama panggilanku, padahal teman-teman yang lain memanggilku Rashya. Yah, kecuali sahabatku Fika.”
“Hai Ra!” Fika mengagetkanku tepat saat senyum menyungging di bibirku. Aku hanya melihatnya.
“Eh, Fika! Kaget tahu!” Tapi senyumku malah semakin melebar, membuat Fika gadis berparas cantik dan pembawaan ceria itu semakin penasaran.
“Hayo, ngapain senyum-senyum sendiri? Pagi-pagi ngelamun. Ada apa? Atau siapa?” Fika terus bertanya. Aku hanya diam dan tetap tersenyum.
“Heh, cantik-cantik gila. Senyum-senyum sendiri.” Sambil menggoyang-goyangkan pundak kiriku dengan kedua tangannya hingga kepalaku ikut goyang-goyang mengikuti gerakan pundakku. Fika semakin kencang menggoyang-goyangkan pundakku.
“Iya iya aku cerita, tapi nanti. Yang jelas pagi ini adalah hari yang baik. Artinya…” Aku sengaja menghentikan kalimatku.
“Kebaikan seharian nanti!” Kami berucap bersama-sama. Memang sudah menjadi kebisaaan sejak kami akrab di bangku SMP. Walaupun kurang puas dengan jawabanku, Fika menyerah sambil memicingkan mata dan memonyongkan bibir. Tapi Fika menurut saja.
Aku memang nggak secantik Fika, walaupun Fika selalu mengatakan aku cantik plus manis. Aku berkacamata, Fika nggak. Tapi kami adalah sahabat dan kami sering sekali merasa heboh akan hal-hal apapun. Itulah kami anak ceria Indonesia. Oke, yang ini lebay. Walaupun tanpa harus menyebutkan suatu hal, kami sering tertawa bersamaan. Pernah juga kami bertengkar karena nilai ulangan kami yang kadang berbeda walaupun sudah belajar bersama atau rebutan idola di televisi. Tapi kami akhirnya tetap berbaikan lagi. Karena hal-hal yang seperti itulah, persahabatan kami semakin kuat.
“Eh, besok terakhir lho ngumpulin baksos jangan lupa, ada tuh pengumumannya di jendela.” Aku menginfokan.
“Beres. Oh ya aku mau cerita. Aku suka sama seseorang, titik.” Kemudian hening. Aku tetap menyimak. Fika mengedip-ngedipkan kedua matanya, persis seperti barongsai.
“Siapa? Kok diem?” Giliran aku yang penasaran. Aku mengerutkan kening. Tandanya ini serius. Biasanya untuk cowok yang dilihatnya dia hanya spontan mengatakan cakep atau keren, tapi belum pernah sekalipun mengatakan suka. Aku juga sama, belum pernah merasakan dan mengatakan suka seseorang pada Fika. Kami pun hening.
“Nanti juga deh.” Fika melanjutkan sambil menaik-naikkan kedua alisnya.
“Haaaaah. Kalau gitu ntar selese sekolah ya, ke rumahku.” Sahutku masih penasaran sambil memicingkan mata dan memonyongkan bibir seperti yang Fika lakukan tadi.
“Hahahahaha!” Kamipun tertawa tanpa menyadari teman-teman yang mulai berdatangan ke kelas sampai menoleh pada kami, termasuk Pras juga. Aku dan Fika saling berpandangan kemudian kami tersenyum pada Pras dan Pras membalas senyum kami dengan heran sambil memiringkan kepalanya sebentar.

***

Di rumah, sepulang sekolah.

“Nah, pokoknya kamu harus cerita ke aku tentang orang itu. Kalau perlu malam ini kamu nginep aja di rumahku. Ya ya!” Bujukku sambil berjalan ke sofa di depan televisi ruang keluarga selesai makan siang. Fika mengikuti. Lalu kami mengambil posisi duduk yang nyaman.
“Aku cerita tapi aku jangan nginep ya, soalnya ntar malem Mama minta diisikan pulsa.” Katanya lalu membuat wajah yang aneh.
“Lhoh? Hahahaha.” Dasar Fika, kataku sambil membetulkan letak kacamata.
“Hehehe minta dianter ke mol. Beli bahan-bahan dan peralatan buat arisan lusa di rumah.”
“Yah, soalnya malem ini orang rumah pada pulang telat, ada acara di rumah Om di Banyumulek.” Kataku agak kecewa sambil menatap merajuk pada Fika. “Hemm, iya deh nggak papa.” Lanjutku.
Kami duduk berhadapan. Aku membuka bungkus permen loli milkita rasa melon dan memasukkannya ke mulutku. Sambil memasukkan satu-satu snack balado yang ada di stoples di depannya, Fika mulai bicara.
“Aku suka Pras.” Katanya to the point.
Dingdong. Pikiranku entah kemana. Antara kaget, bingung, kesal tapi entahlah perasaan apa ini.
Sambil tersipu Fika melanjutkan, “Dia baik banget. Dia bantuin aku ngapusin tulisan di papan tulis pas aku piket kemarin, padahal dia nggak ada jadwal piket kemarin.” Seolah nggak mau berhenti. “Sejak itu aku merasa kalau nggak ada cowok sebaik dan seperhatian dia tanpa memamerkan atau mengungkit-ungkit kebaikannya. Ganteng lagi.” Fika kemudian terdiam sambil membayangkan sesuatu. Tentang Pras pastinya.
Permen loli yang ada di mulutku rasanya antara ingin kupatahkan saja batangnya dengan menggigitnya atau kukunyah pemennya atau kulepeh sekalian. Aku bingung. Aku hanya diam sambil menatap kosong stoples snack balado di depanku.
Kami diam. Asyik dalam lamunan masing-masing. Perasaan apa ini. Aneh. Dadaku terasa nyeri. Apa aku kagum pada Pras, tapi aku merasa terluka atas pengakuan Fika. Mungkin aku suka atau cinta. Aku nggak tahu. Aku bingung.
“Ra? Kok diem, kenapa?” Akhirnya Fika sadar aku menggigit-gigit batang permen loli setelah permennya kukunyah sampai habis. “Gigit-gigit batang permen lagi.” Sambungnya.
Aku masih bengong. Kenapa begini? Apa yang terjadi kenapa Fika juga suka Pras? Aku menyukai Pras sejak pertama masuk kelas. Tapi Fika nggak tahu. Ralat, belum tahu dan akan tahu.
“Hey, Rashya Diandra Sita! Ngelamunin apa? Oh, katanya kamu juga mau cerita. Apa?” Panggilannya menyadarkannku.
Menyadari raut wajahku yang nggak biasa, nggak excited mendengar ceritanya Fika pun mulai curiga. “Kena- Kamu-” kata-kata Fika terpotong-potong kemudian membuka mulutnya seolah bisa menebak. “Jangan-jangan kamu suka Pras?” Tebakan Fika dan benar.
Aku hanya menatapnya. Mengangguk lesu.
“Kenapa Ra? Kenapa kamu, kenapa kita bisa sama-sama suka Pras?! Kapan? Kenapa nggak pernah cerita?” mendesakkau.
Aku mungkin keras kepala, tapi nggak sekeras kepala Fika. Dan Fika mengejar jawabanku. Dia serius. Aku akan mencoba bercerita.
“Entah kenapa, aku nggak cerita. Aku salah. Aku nggak jujur.” Kulihat raut wajah Fika menegang dan berusaha menahan diri. “Aku nggak percaya, kamu setelah beberapa hari saja langsung merasa suka Pras. Aku-” Astaganaga. Aku segera menghentikan kalimatku. Kenapa aku ngomong seperti ini.
“Hanya beberapa hari? Nggak boleh gitu?” Fika emosi dan menaggapi.
“Aku menyukainya sejak awak masuk sekolah!” Apa-apaan sih, kenapa aku jadi ribut hal nggak penting gini. Aaah.
“Trus kamu yang boleh menyukainya, Ra? Hanya kamu? Oh tentu saja, aku juga berpikir hanya aku yang boleh menyukainaya.” Lanjut Fika nggak mau kalah.
“Fik, aku memang kecewa tapi aku nggak marah kalau kamu juga suka. Aku hanya kaget.” Mataku terasa panas, kacamataku berembun. Aku nggak sanggup mengatakan kalau aku bukan hanya menyukainya tapi sangat menyukainya. Logikaku masih jalan kalau-kalau Fika merasa tersinggung jika aku mengatakanya.
“Oke, mulai sekarang kita saingan untuk dapetin perhatian Pras.” Katanya datar.
“Bukan begini maksudku. Aku nggak suka itu. Harusnya kita ngertiin satu sama lain.” Aku terisak.
“Kalau begitu pras buat aku.” Fika bener-bener nggak nyerah.
Sakit rasa dada ini. Bukan konflik macam ini yang kuharapkan. Aku suka Pras. Aku suka Fika. Aku nggak mau kehilangan kalian.
“Iya iya. Mungkin aku memang bingung. Aku nggak mau kita begini.” Aku berusaha bertahan agar air mataku nggak keluar lagi. Aku mengusap air mataku. “Aku dukung kamu, Fik. Aku nggak suka kita begini. ” Lanjutku.
“Jujur aku masih kaget kenapa kamu bisa ikut-ikutan suka.” Matanya menyelidik.
Aku menggeleng dengan tegas, “Aku nggak ikut-ikutan. Di lain sisi aku sebenernya nggak tahu kenapa bisa suka.”
“Terserah. Kamu bener-bener dukung aku kan, Ra?” Fika menggenggam tangan kananku dengan kedua tangannya. Wajahnya terlihat sedih. Aku hanya tersenyum berat dan mengangguk. “Sebaiknya aku pulang sekarang.” Sambil melepas tanganku, Fika mengambil tasnya. “Maaf ya, Ra. Aku tahu perasaan seperti ini yang pertama buat kita. Tapi aku bener-bener ingin dekat dengannya.” Fika melunak. Walaupun ingin rasanya melayangkan tamparan ke wajahnya. Tapi aku nggak setega itu. Aku hanya bertahan.
“Sepertinya kita akan canggung.” Kata Fika sebelum pergi.
“Iya.” Aku setuju.
“Aku akan berusaha membuktikan kalau aku berhak. ” Tantangnya.
“Kamu memang berhak, aku juga berhak. Aku hanya berharap kamu nggak lupa kalau perasaanku sama berartinya.” Pintaku.
“Oke.” Fika setuju. Aku tahu Fika juga mengerti walau nggak mau kalah.
Fika pulang dengan kacau. Aku juga. Satu hal yang pasti malam ini kami lakukan. Menangis.

***

Keesokan harinya, kami bersikap biasa. Lebih tepat jika dikatakan datar. Masing-masing berusaha nggak mengungkit masalah kemarin. Tapi aku berjanji akan mendukung Fika.

***

Dua minggu setelah pertengkaran kami.
Yesterday, you asked me something I thought you knew
So I told you with a smile 'It's all about you'
Then you whispered in my ear and you told me too
Say 'If you make my life worthwhile, it's all about you'

And I would answer all you're wishes...

"Ra.” Fika memanggilku yang sedang mendengarkan All About You milik mcFly. Segera aku melepas headset ponselku dari telinga. Ragu-ragu tapi dengan wajah sumringah Fika mulai bicara.
"Iya Fika?" Aku memperhatikan.
"Kami jadian." Lanjutnya. Pras dan Fika jadian.
"Oya!" Aku enggak sanggup berkata lainnya. Menangis pun enggak berani. Aku hanya menggenggam tangannya dan memberikan senyum. Saat Fika berpaling, aku mencari sosok Pras. Baik-baik Pada Fika, Pras. Batinku.

***

Hampir dua minggu berlalu sejak Fika dan Pras jadian. Fika selalu bercerita tentang Pras yang begini dan begitu. Aku terbiasa, walau pun aku masih tetap suka pada Pras. Pras juga sering bergabung, seolah-olah kini kami bertiga adalah sahabat.
 Entah bagaimana ceritanya, kemudian Fika mengatakan kalau dia bosan.
“Pras memang baik. Tapi lama-lama aku nggak merasakan apa-apa. Sepertinya aku hanya kagum seperti waktu kita menyukai idola-idola di televisi itu. Cuma bedanya karena Pras nyata jadi aku merasa sayang jika nggak mendapat perhatian khusus darinya.” Katanya.
“Kalian putus?” Aku bertanya ragu.
"Hahaha! Tahu aja."
"Udahan?"
Fika mengangguk. "Bagian dia baik, memang bener lho. Kita mutusin udaha sama-sama. Putus baik-baik. Status aja yang berubah, tetep temenan, kok.” Fika mengatakan dengan agak berat. Tapi aku tahu Fika akan baik-baik saja.
“Yah Fika.” Hanya itu komentarku. "Semudah itu?" aku melotot padanya.
"Entah ya."
"Dasar." Lanjutku sambil tertawa menggodanya.
"Maaf ya Ra, aku jadi inget waktu kita hemm di rumahmu hemm waktu itu."
"Ah udahlah."
"Kamu masih suka Pras?" Fika tiba-tiba membisikkan pertanyaan itu. Fika tau. Aku hanya mengangguk.
“Tapi Fik, aku nggak ada-” Aku berusaha menjelaskan.
“Aku tahu kamu nggak bermaksud menembaknya, seenggaknya dalam waktu dekat ini. Karena kamu nggak memperlihatkan tanda-tanda itu. Aku juga tahu kamu sangat menjaga perasaanmu itu untuk kita bertiga.”
"Fika."
"Enggak kok, aku udahan sama dia bukan karena merasa bersalah sama kamu tapi ya itu tadi rasanya biasa aja. Selesai. Tapi apapun itu, aku akan mendukungmu. Oke?" Aku nggak nyangka Fika akan berkata begitu.
Aku hanya tersenyum. Aku memang begitu. Walupun pernah merasa sakit, tapi aku pernah berjanji akan mendukung Fika. Jadi selama ini aku nggak memperlihatkan sakit hatiku.
Dunia oh dunia. Walaupun mereka telah putus dan kami sering bersama bertiga tapi aku tetap merasa deg-degan tiap bersama Pras. Aku nggak mengatakannya, tapi Fika tahu. Fika bener-bener menjaga dan menghargai perasaanku sampai aku ingin mengatakannya sendiri pada Pras.
Aku nggak mau jika Pras tahu perasaanku lalu, lalu Pras menjadi suka padaku atau malah membenciku. Atau menganggapku aneh. Ah, tapi kalau membenci rasanya Pras nggak mungkin melakukannya. Berapa kali sudah aku mengatakannya kalau Pras cukup baik, baik dan baik. Aku hanya bener-bener nggak sanggup mengatakannya. Beberapa kali sebenernya Pras pernah menggodaku.
“Siapa sih orang yang kamu suka, Ra? Pasti ada kan? Walaupun aku tahu kamu nggak deket sama cowok mana pun. Tapi ada kan?” Pras kepo banget. Tapi aku suka.
“Ada dong. Eh, jangan salah walaupun nggak pernah deket sama cowok mana pun selain kamu, tapi ada beberapa cowok yang ngedeketin aku.” Jawabku nggak mau kalah. Fika hanya senyum-senyum sambil pura-pura minum soft drink dari sedotan.
“Dia memang belum mau ngaku tuh sama orangnya, Pras.” Tiba-tiba Fika menggoda dan menimpali. Semakin membuat Pras penasaran.
“Eh siapa sih? Ntar aku comblangin.” Sahutnya meyakinkan.
“Kamu pasti tahu, Pras. Beneran kamu mau nyomblangin Fika? Jujur deh, Rashya memang oke kan, Pras?” Fika semakin menjadi. Pras hanya tersenyum dan mengangguk setuju. Aku nggak tahan.
“Cukup. Kalian ini, aku malu tahu. Jangan coba mancing ya. Pokoknya ada, apa salahnya sih kalo hanya pengen menyukai. Weeeeek.” Aku mengakhiri sambil menjulurkan lidah. Kami tertawa. Aku nggak peduli seberapa besar aku suka bahkan sayang, tapi Pras belum boleh tahu. Titik.

***

Emang dasar playboy. Belum dua bulan putus dari Fika, Pras udah jadian lagi dengan yang lain, yang lain dan yang lainnya sampai akhirnya kami naik kelas 3. Setiap Pras jadian dengan seorang cewek aku cemburu. Jadi selama ini aku hanya mengendalikan diri agar Pras nggak menyadari. Fika tahu itu. Aku memang bodoh.
Lagi, Fika hampir keceplosan mengatakan kalau aku suka Pras saat tahu Pras jadian lagi.
“Huh, nggak bosen apa jadian dengan cewek hampir satu sekolahan, Pras? Buseeeet. Hemm, tapi ada juga tuh orang yang malah nggak pernah sekalipun jadian dengan cowok mana pun.” Kata Fika. Buat Pras, ini pertanyaan biasa. Fika dan Pras langsung menoleh ke arahku. Mereka tertawa menggoda. Bener-bener deh.
“Habis mereka cantik-cantik. Aku nggak tahan.” Canda Pras.
“Huuu dasar.” Fika mengomentari,
“Hih apa sih!” Kataku sedikit kaget dan deg-degan. Duh, harusnya aku nggak perlu bereaksi seheboh ini menanggapinya.
“Susah banget sih move on kamu, Ra. Bilang suka aja kok susah. Mumpung ada orangnya.” Katanya menjurus. OMG. Aku dan Fika kaget. Aku melotot pada Fika.
“Hah, siapa? Mana?” Pras mencari “seseorang” di sekitar pandangannya. Tentu aja nggak ada orang di dekat sini. Menoleh-noleh. Ahelah ni cowok, beneran nggak sadar ya maksud kata-kata Fika. Kadang-kadang agak kurang peka juga. Walaupun cuek harusnya nggak kebangetan gini.
“Ah-” Aku mau menjawab.
“Udah pergi. Tauk ke mana.” Putus Fika segera.
Aku hanya tersenyum lebar, kemudian Fika dan aku tertawa. Menyisakan kebingungan di wajah Pras.

***

Aku seneng banget. Pras bilang dia capek pacaran kalau akhirnya bakalan putus nggak lama setelah jadian. Kali ini dia akan sungguh-sungguh kalau mau jadian dengan seorang cewek.
“Ah. Nggak percaya.” Aku dan Fika berbarengan.
Oke, aku butuh waktu dua minggu. Apa benar Pras nggak membicarakan kecantikan, keimutan dan bla bla bla cewek manapun di depanku dan Fika. Ternyata Pras lulus. Walaupun Pras nggak tahu tentunya aku mengujinya.
Akhirnya aku memberitahu rencana pernyataan perasaanku ke Pras pada Fika. Fika senang bukan main. Lagipula sebentar lagi kami akan ujian dan berpisah untuk melanjutkan kuliah ke luar kota. Aku hanya ingin Pras tahu, walau nantinya “nggak berarti apa-apa” buat Pras. Atau malah kecewa karena selama ini aku nggak jujur.

***

Hari ini Fika sengaja meninggalkanku setelah jam pelajaran sekolah usai, agar aku bisa konsentrasi.
“Udah nggak papa. Tinggal bilang aja susah amat.” Fika menyemangati.
“Iya!” Kataku yakin dan meyakinkan diri.
Kutelusuri segera koridor menuju parkiran, melewati kelas-kelas sambil membawa kertas bertulisakan hal-hal yang ingin kusampaika pada Pras. Anggap saja surat. Cara lama tapi aku nggak tau bagaimana lagi cara untuk menyampaikan. Terlalu berat rasa mulut ini untuk mengucap langsung.
Kulihat Pras dari samping menyandar pada motornya. Aku hampir memanggil, tapi aku mengurungkan niat. Pras bersama seorang cewek. Dinda. Ya, itu Dinda anak kelas 2. Pras merangkul pundak Dinda dengan tangan kirinya. Aku hanya bisa menatap kaget dan membuka mulutku dengan lebar dan segera menutupnya dengan tangan kiriku. Aku berusaha sembunyi di balik pintu kelas yag terbuka sambil berusaha mengintip. Sekilas kulihat wajah Pras. Tatapannya pada Dinda lembut, bukan seperti tatapan baik padaku atau Fika. Dalam hati aku berkata, seharusnya aku tahu. Seharusnya aku bisa merasakan. Pras tidak membicarakan cewek manapun tapi memang ada yang lain dalam sikapnya akhir-akhir ini. Ternyata dia telah memilih anak itu, Dinda.
Aku merasa kesal pada Dinda. Tidak. Aku sangat kesal pada Pras. Kenapa Pras nggak mau menungguku sebentar lagi. Menunggu saat aku sudah siap untuk menyatakan perasaanku. Sampai hari ini saja. Dan aku kesal pada diriku sendiri tentunya. Aku hanya bisa menangis tanpa suara dengan menggigit bibir bawahku karena aku nggak mau Pras dan Dinda menyadari keberadaanku. Dan kali ini rasanya semakin sakit. Aku meremas dengan pelan tulisan yang telah kusiapkan. Kutangisi tulisan itu dalam heningku sampai kulihat Pras pergi dari parkiran membonceng Dinda.
“Pras, aku suka kamu.” Kukatakan lirih. Aku sudah nggak tahan. Air mataku mengalir deras. Aku sesenggukan. Berat hati kubuka lagi kertas yang telah kuremas tadi. Walaupun begitu tulisannya masih terbaca dengan jelas.
HAI, Pras.
Jujur aku malu begini, tapi aku pengen kamu tahu.
Kamu ingat, pertama kita bertemu saat kamu bertanya apa kita sekelas dan kau memperkenalkan diri?
Mungkin kamu nggak ingat, tapi karena hal sepele itu. Ya, karena kamu mengajak ngobrol duluan saat itu membuat aku merasakan sesuatu yang berbeda.
Tiga tahun ini aku merasa dan aku tahu, aku suka kamu Pras.
Selama ini aku hanya ingin jujur. Aku suka Candra Prasetyo.
Ini aneh buatku, mungkin juga buatmu.

Aku beranjak ke parkiran untuk mengambil motorku. Aku berpikir, kali ini bahkan kesempatan untuk menyampaikannya nggak ada. Sepanjang jalan pulang air mataku terus mengalir di balik helm. Bahkan untuk mengusapnya pun aku nggak pengen.

 ***




8 komentar:

  1. menarik, sy suka cerita kyk gini, tapi selalu gagal membuatnya, sy masih kurang lihai untuk masalah cinta, suka bingung arahnya mau ke mana,.. anyway Rany membuatku seperti sedang membaca komik, tapi entah kenapa sy ngerasa karakternya Rany banget, hehe,.. sedikit masukan mungkin, masih banyak yg salah ketik kemunkinan karna Rani terlalu semangat, he... eh sori komennya kepanjangan,..:P,.. ayo buat lagi Ran ^^

    BalasHapus
    Balasan
    1. tengkyu tengkyu >_< udah ta'perbaiki...eh ntar Kiki juga bisa.kapan mungkin buat lagi,heheheeee

      Hapus
  2. jadi inget salad days abis baca inii... komikal gt ceritanya... hehee

    BalasHapus
    Balasan
    1. salad days itu apa, komik,movie? jadi komikal itu yg begini ya? kalo cerpen murni itu yg gimana....tanya donk, panduan cerpen yang benar itu seperti apa?hihihi

      Hapus
    2. sekarang mah udah biasa buat cerpen yah ran, hehehe....

      Hapus
    3. masih belum...masih selalu merasa ada yang aneh tiap sy ngimprof....walaupun intinya udah pas..

      Hapus
  3. hay,,,,ane baru baca ni....mian unnnn,,,,
    berasa seperti kim nana,,,cinta bertepuk sebelah jidat pada seonwoo,,,,hehehe

    BalasHapus

Welcome blogger.... ^_^
Ber-komen-lah dengan bahasa yang baik & no SARA.